Terungkap! Kades Kohod dan Anak
Buahnya Didenda Rp48 Miliar atas Skandal Pagar Laut di Tangerang
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
telah menjatuhkan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp48 miliar kepada
Kepala Desa (Kades) Kohod, Arsin, dan stafnya yang berinisial T. Denda ini
dikenakan terkait pembangunan pagar laut ilegal di perairan Kabupaten
Tangerang.
![]() |
ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/YU(ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga) |
Menteri Trenggono Ultimatum: 30 Hari untuk Bayar Denda Fantastis!
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu
Trenggono, menegaskan bahwa Arsin dan T diberi batas waktu maksimal 30 hari
untuk melunasi denda tersebut. Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI,
Trenggono menyatakan bahwa kedua pelaku telah menyatakan kesanggupan mereka
untuk membayar denda dalam kurun waktu yang ditentukan.
Pengakuan Mengejutkan! Kades dan
Stafnya Akui Bangun Pagar Laut Ilegal
Hasil pemeriksaan KKP mengungkap bahwa Arsin
dan T mengakui peran mereka dalam pembangunan pagar laut tersebut. Pengakuan
ini diperkuat dengan bukti-bukti yang ada, sehingga sanksi administratif berupa
denda Rp48 miliar dijatuhkan sesuai dengan luas dan ukuran pagar laut yang
dibangun.
Skandal Besar! Kades dan Stafnya Akui Bangun Pagar Laut Ilegal, Terancam
Denda Fantastis!
Pengakuan Mengejutkan! Kades dan Stafnya Akui Bangun Pagar Laut Ilegal
Kasus pagar laut ilegal di Tangerang semakin menyita perhatian publik
setelah Kepala Desa Kohod, Arsin, bersama stafnya akhirnya mengakui
keterlibatan mereka dalam pembangunan proyek kontroversial tersebut. Pengakuan
ini disampaikan dalam penyelidikan yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) serta aparat penegak hukum.
Sebelumnya, pembangunan pagar laut ilegal ini telah menjadi isu panas
karena berdampak pada lingkungan dan akses masyarakat terhadap kawasan
perairan. Investigasi mendalam membuktikan bahwa proyek tersebut tidak memiliki
izin resmi dan telah melanggar berbagai regulasi tentang kelautan dan
lingkungan hidup.
------------
Terungkap! Kepala Desa Kohod dan Anaknya Mengaku di Depan Penyidik
Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik KKP, Arsin mengaku bahwa
pembangunan pagar laut di wilayah pesisir Kohod dilakukan atas inisiatifnya
sendiri. Tidak hanya itu, salah satu stafnya yang berinisial T juga turut
memberikan kesaksian bahwa proyek ini memang telah direncanakan sejak lama
tanpa mempertimbangkan aspek legalitas.
Menurut pengakuan Arsin, pagar laut ini dibangun dengan alasan untuk
“melindungi” wilayah tertentu dari abrasi dan aktivitas nelayan liar. Namun,
alasan tersebut terbantahkan oleh bukti yang menunjukkan bahwa proyek tersebut
justru membatasi akses masyarakat ke laut serta berpotensi merusak ekosistem
pesisir. Penyidik juga menemukan bahwa dalam pelaksanaan proyek ini, ada dugaan
keterlibatan oknum lain yang ikut mengambil keuntungan.
Skandal Terbongkar! Kades Kohod dan Sekdesnya Akui Pemalsuan Surat Izin
Pagar Laut Tangerang “ Sumber : kompas
Kasus pemalsuan surat izin terkait pembangunan pagar laut ilegal di Desa
Kohod, Kabupaten Tangerang, Banten, memasuki babak baru. Kepala Desa (Kades)
Kohod, Arsin, dan Sekretaris Desa (Sekdes), Ujang Karta, akhirnya mengakui
peran mereka dalam pembuatan surat izin palsu untuk lahan pagar laut tersebut.
Pengakuan ini menambah daftar panjang kasus penyalahgunaan wewenang oleh
aparatur desa yang merugikan masyarakat dan lingkungan.
------------
Pengakuan Mengejutkan: Alat Bukti Pemalsuan Disita dari Kantor Desa
Pada 10 Februari 2025, tim penyidik Bareskrim Polri menggeledah Kantor
Desa Kohod dan kediaman pribadi Arsin. Dari penggeledahan tersebut, disita
sejumlah barang bukti yang diduga kuat digunakan untuk memalsukan surat izin
lahan pagar laut. Barang-barang yang disita meliputi satu unit printer, layar
monitor, keyboard, stempel sekretariat Desa Kohod, serta peralatan lain yang
diduga digunakan untuk memalsukan girik dan surat-surat lainnya. Selain itu,
ditemukan juga kertas yang identik dengan bahan pembuatan warkah atau surat
perizinan lahan pagar laut Tangerang. “
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Pol Djuhandhani
Rahardjo Puro, mengonfirmasi bahwa Arsin dan Ujang Karta telah mengakui
penggunaan alat-alat tersebut untuk membuat surat palsu. "Ini sudah kita
dapatkan dari keterangan kepala desa maupun sekdes yang juga mengakui bahwa
alat-alat itulah yang digunakan," ujar Djuhandhani.
------------
Peran Misterius Pihak Ketiga dalam Skema Ilegal Terungkap
Menariknya, dalam perkembangan penyidikan, Arsin melalui kuasa hukumnya,
Yunihar, mengungkapkan adanya keterlibatan pihak ketiga berinisial
"S" dalam proses pembuatan surat izin palsu tersebut. Menurut
Yunihar, sejak tahun 2021, S menawarkan jasa kepada Arsin yang baru menjabat
sebagai Kades untuk membantu proses administrasi surat izin. "Pihak ketiga
datang ke desa menawarkan jasa dengan memberikan harapan-harapan," kata
Yunihar.
Sosok S, yang dianggap berpendidikan dan memahami hukum, dipercaya oleh
Arsin untuk memfasilitasi pembuatan surat izin. Namun, belakangan terungkap
bahwa stempel dan tanda tangan yang digunakan dalam surat-surat tersebut palsu,
dan Arsin mengklaim tidak pernah menandatangani surat izin yang kini beredar.
"Stempel dan tanda tangan yang ditunjukkan di warga itu palsu dan Arsin
tidak pernah menandatangani," jelas Yunihar.
------------
Dampak Luas: Masyarakat Terdampak dan Lingkungan Terancam
Kasus pemalsuan surat izin ini tidak hanya mencoreng integritas aparatur
desa, tetapi juga berdampak luas pada masyarakat dan lingkungan sekitar.
Pembangunan pagar laut ilegal membatasi akses nelayan lokal ke area tangkap
tradisional mereka, mengancam mata pencaharian dan kesejahteraan komunitas
pesisir.
Selain itu, pembangunan tanpa izin ini berpotensi merusak ekosistem laut
yang sensitif. Pagar laut dapat mengganggu arus laut alami, merusak habitat
biota laut, dan mengakibatkan penurunan keanekaragaman hayati. Kerusakan
lingkungan semacam ini memerlukan waktu lama untuk pulih dan mempengaruhi
keseimbangan ekologi kawasan tersebut.
------------
Respons Aparat Penegak Hukum dan Langkah Selanjutnya
Meskipun Arsin dan Ujang Karta telah mengakui peran mereka dalam
pemalsuan surat izin, penyidik Bareskrim Polri belum menetapkan tersangka dalam
kasus ini. Djuhandhani menekankan bahwa pengakuan saja tidak cukup untuk
menetapkan seseorang sebagai tersangka; diperlukan bukti kuat dan proses gelar
perkara untuk memastikan keterlibatan mereka. "Pengakuan tersangka itu
juga bukan mutlak, karena semuanya terkait dengan pembuktian," ujar
Djuhandhani.
Rencananya, gelar perkara akan dilakukan dalam waktu dekat untuk
menentukan langkah hukum selanjutnya. Masyarakat berharap kasus ini ditangani
dengan transparan dan adil, serta memberikan efek jera bagi pelaku
penyalahgunaan wewenang lainnya.
------------
Pentingnya Pengawasan dan Transparansi dalam Pemerintahan Desa
Kasus di Desa Kohod menyoroti perlunya pengawasan ketat dan transparansi
dalam pemerintahan desa. Aparatur desa memegang peran penting dalam pengelolaan
sumber daya dan pelayanan publik di tingkat lokal. Penyalahgunaan wewenang,
seperti pemalsuan surat izin, tidak hanya merugikan masyarakat tetapi juga
merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Untuk mencegah kejadian serupa, diperlukan sistem pengawasan yang
efektif, pelatihan bagi aparatur desa tentang tata kelola pemerintahan yang
baik, dan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Selain itu, penegakan hukum yang tegas
------------
Dalih Mengejutkan! Pagar Laut Dibangun Demi Kepentingan Pribadi?
Meskipun Arsin berdalih bahwa pembangunan pagar laut ini bertujuan untuk
melindungi kepentingan umum, penyidik menemukan bukti bahwa proyek ini justru
lebih banyak menguntungkan pihak tertentu. Sejumlah warga mengaku bahwa mereka
merasa dirugikan karena akses ke laut yang sebelumnya terbuka kini menjadi
terbatas.
Salah satu warga setempat yang enggan disebutkan namanya menyatakan bahwa
selama bertahun-tahun mereka bebas mencari ikan di sekitar kawasan tersebut.
Namun, sejak pagar laut itu berdiri, mereka harus mencari jalur lain yang lebih
jauh dan lebih sulit diakses. Hal ini jelas berdampak pada mata pencaharian
mereka.
Lebih jauh lagi, ada dugaan bahwa pembangunan pagar laut ini dilakukan
dengan tujuan untuk meningkatkan nilai jual tanah di sekitarnya. Beberapa
sumber menyebutkan bahwa setelah pagar laut dibangun, muncul spekulasi tanah
yang membuat harga lahan di sekitar area tersebut melonjak drastis. Jika dugaan
ini benar, maka proyek ini bukan hanya ilegal, tetapi juga berpotensi menjadi
kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
------------
Dampak Fatal! Lingkungan Rusak dan Warga Dirugikan
Dampak dari pembangunan pagar laut ilegal ini tidak hanya sebatas pada
terbatasnya akses masyarakat ke laut. Ahli lingkungan menyatakan bahwa
keberadaan struktur ini telah mengubah pola arus air di sekitarnya, yang
berpotensi merusak ekosistem laut. Beberapa spesies ikan yang sebelumnya banyak
ditemukan di daerah tersebut kini mulai berkurang drastis.
Selain itu, pembangunan tanpa perhitungan matang juga menyebabkan abrasi
yang lebih parah di beberapa titik pesisir lainnya. Alih-alih mencegah abrasi
seperti yang diklaim oleh Arsin, pagar laut ilegal ini justru memperburuk
kondisi lingkungan di sekitar Kohod.
------------
Penyelidikan Masih Berlanjut, Denda Rp48 Miliar Harus Dibayar
Dengan adanya pengakuan dari Kades dan stafnya, pemerintah semakin gencar
dalam menegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran lingkungan ini. KKP telah
menjatuhkan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp48 miliar kepada Arsin
dan T sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan pagar laut ilegal
ini.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menegaskan bahwa
mereka diberi waktu 30 hari untuk melunasi denda tersebut. Jika dalam batas
waktu tersebut denda tidak dibayarkan, maka akan ada konsekuensi hukum yang
lebih berat menanti mereka.
Sementara itu, masyarakat dan berbagai aktivis lingkungan mendesak agar
kasus ini tidak hanya berhenti pada denda semata, tetapi juga ditindaklanjuti
dengan proses hukum yang lebih serius. Mereka berharap agar kasus serupa tidak
kembali terjadi di masa mendatang, mengingat dampak yang ditimbulkan sangat
besar, baik bagi lingkungan maupun masyarakat sekitar.
------------
Pembelajaran dari Kasus Pagar Laut Ilegal
Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa setiap proyek yang menyangkut
kepentingan publik harus dilakukan dengan transparan dan sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku. Kepentingan pribadi dan keuntungan jangka pendek tidak
boleh mengorbankan lingkungan serta hak masyarakat untuk mengakses sumber daya
alam secara adil.
Dengan adanya sanksi tegas dari pemerintah, diharapkan tidak ada lagi
pihak-pihak yang mencoba melakukan pelanggaran serupa di masa depan. Kasus
pagar laut ilegal ini seharusnya menjadi peringatan bagi semua pihak bahwa
hukum harus ditegakkan demi kesejahteraan bersama.
------------
Dampak Serius! Pemalsuan Sertifikat
Tanah di Balik Pagar Laut Terbongkar
Selain dikenakan denda, Arsin bersama tiga
orang lainnya, termasuk Sekretaris Desa Kohod, Ujang Karta, serta dua penerima
kuasa berinisial SP dan CE, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim
Polri. Mereka diduga terlibat dalam pemalsuan sertifikat hak guna bangunan
(SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM) terkait lahan di wilayah pagar laut
Tangerang.
Menurut Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro,
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, para tersangka diduga membuat dan
menggunakan surat palsu, termasuk girik, surat pernyataan penguasaan fisik
bidang tanah, dan dokumen lainnya, sejak Desember 2023 hingga November 2024.
Dokumen-dokumen palsu ini digunakan untuk mengajukan permohonan pengukuran
tanah hingga terbitnya 260 SHM atas nama warga Kohod.
Kasus ini menyoroti pentingnya integritas dan transparansi dalam pengelolaan lahan serta perlunya penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.
---------------------------------------------------------------------
Lalu bagaimana dengan Nasib Shandy
Marta Praja dan ABU JANDA
yang dalam mediasosial seakan-akan menyatakan “ BAHWA PAGAR LAUT
DIBIAYAI OLEH NELAYAN SETEMPAT”
--------------------------------------------------------------------
Terungkap! Shandy Marta Praja Klaim
Pagar Laut Dibiayai Patungan Rp 5 Ribu, Mahasiswa DO yang Kalah Debat dengan
Kholid
Kontroversi seputar pembangunan pagar laut di
pesisir utara Kabupaten Tangerang semakin memanas dengan munculnya sosok Shandy
Marta Praja, yang mengaku sebagai Koordinator Jaringan Rakyat
Pantura (JRP). Shandy mengklaim bahwa pembangunan pagar laut sepanjang
30 kilometer tersebut didanai secara swadaya oleh masyarakat nelayan dengan
iuran sebesar Rp 5.000 per orang. Namun, klaim ini menimbulkan berbagai
pertanyaan dan keraguan di kalangan masyarakat dan pemerintah.
![]() |
Source : jatim.tribunnews.com |
Kontroversi Pagar Laut: Benarkah
Hanya Bermodal Patungan Rp 5 Ribu?
Dalam sebuah konferensi pers yang digelar
pada 10 Januari 2025, Shandy Marta Praja menyatakan bahwa pembangunan pagar
laut di pesisir utara Kabupaten Tangerang merupakan inisiatif masyarakat
nelayan setempat untuk mencegah abrasi dan melindungi wilayah pesisir. Ia
menegaskan bahwa dana untuk proyek tersebut berasal dari iuran sukarela sebesar
Rp 5.000 per orang. Namun, banyak pihak meragukan klaim ini, mengingat
panjangnya pagar laut yang mencapai 30 kilometer dan biaya material serta
tenaga kerja yang tentunya tidak sedikit.
Beberapa ahli konstruksi dan ekonomi menilai
bahwa dengan panjang 30 kilometer, biaya pembangunan pagar laut tersebut
diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Jika hanya mengandalkan iuran Rp 5.000
per orang, dibutuhkan partisipasi ratusan ribu orang untuk mencapai jumlah
tersebut. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada sumber dana lain yang tidak
diungkapkan oleh Shandy dan JRP.
Debat Panas: Shandy Marta Praja vs
Kholid, Siapa yang Unggul?
-----------------------------------------------------
Kontroversi ini semakin memanas ketika Shandy
Marta Praja terlibat dalam sebuah debat publik dengan Kholid,
seorang aktivis lingkungan yang menentang pembangunan pagar laut tersebut.
Dalam debat yang disiarkan secara langsung di media sosial, Kholid
mempertanyakan legalitas dan dampak lingkungan dari pembangunan pagar laut
tersebut. Ia menyoroti bahwa pembangunan tanpa izin resmi dan tanpa kajian
lingkungan yang memadai dapat merusak ekosistem laut dan mengganggu mata
pencaharian nelayan lainnya.
Shandy, di sisi lain, bersikeras bahwa pagar
laut tersebut dibangun demi kepentingan masyarakat dan untuk melindungi wilayah
pesisir dari abrasi. Namun, argumen Shandy dianggap lemah oleh banyak penonton
debat, terutama ketika Kholid memaparkan data dan fakta yang menunjukkan bahwa
pembangunan pagar laut tersebut melanggar sejumlah peraturan dan berpotensi
merusak lingkungan. Banyak netizen menilai bahwa Kholid unggul dalam debat
tersebut, sementara Shandy dianggap tidak mampu memberikan jawaban yang memadai
atas pertanyaan-pertanyaan kritis yang diajukan.
Status Mahasiswa Shandy Terungkap:
Drop Out Sejak 2021, Apa Dampaknya?
----------------------------------------------------------
Selain kontroversi terkait pembangunan pagar
laut, latar belakang pendidikan Shandy Marta Praja juga menjadi sorotan. Shandy
sebelumnya mengaku sebagai mahasiswa Universitas Muhammadiyah Tangerang
(UMT) dan bahkan mengenakan almamater UMT saat konferensi pers. Namun,
pihak UMT membantah klaim tersebut dan menyatakan bahwa Shandy telah
dikeluarkan atau drop out (DO) sejak tahun 2021.
Menurut Agus Kristian,
Kepala Hubungan Masyarakat UMT, Shandy terdaftar sebagai mahasiswa program
studi Ilmu Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik sejak tahun 2016.
Namun, ia tidak aktif sejak semester ganjil tahun 2019 hingga semester ganjil
tahun 2020. Sesuai dengan aturan UMT, mahasiswa yang tidak aktif tanpa
keterangan akan dikeluarkan. Agus menambahkan bahwa pihak kampus akan memanggil
Shandy untuk meminta klarifikasi terkait klaimnya sebagai mahasiswa UMT.
Terungkapnya status DO Shandy menimbulkan
pertanyaan mengenai kredibilitasnya sebagai koordinator JRP dan klaim-klaim
yang disampaikannya terkait pembangunan pagar laut. Banyak pihak mempertanyakan
apakah Shandy memiliki kapasitas dan legitimasi untuk memimpin proyek sebesar
itu, mengingat latar belakang pendidikannya yang tidak tuntas.
Reaksi Masyarakat dan Pemerintah
Terhadap Pembangunan Pagar Laut
--------------------------------------------------
Pembangunan pagar laut sepanjang 30 kilometer
di pesisir utara Kabupaten Tangerang menimbulkan berbagai reaksi dari
masyarakat dan pemerintah. Sejumlah nelayan mengeluhkan bahwa pagar tersebut
menghambat akses mereka ke laut dan mengurangi area tangkapan ikan. Selain itu,
para ahli lingkungan menyoroti potensi kerusakan ekosistem laut akibat
pembangunan pagar tanpa kajian lingkungan yang memadai.
Di sisi lain, JRP yang dipimpin oleh Shandy
bersikeras bahwa pagar laut tersebut diperlukan untuk melindungi wilayah
pesisir dari abrasi dan aktivitas nelayan ilegal. Mereka mengklaim bahwa
pembangunan pagar tersebut dilakukan secara swadaya oleh nelayan setempat tanpa
melibatkan pihak luar. Namun, klaim ini diragukan oleh beberapa pihak yang
menilai bahwa proyek sebesar itu memerlukan perencanaan dan pendanaan yang
signifikan.
Penyelidikan dan Tindakan Hukum Terhadap Pembangunan Pagar Laut
----------------------------------------------------
Dengan semakin banyaknya kontroversi terkait
pembangunan pagar laut ini, pihak berwenang mulai melakukan penyelidikan lebih
mendalam. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Pemerintah
Kabupaten Tangerang tengah mengumpulkan bukti terkait legalitas proyek
tersebut. Salah satu fokus utama adalah mencari tahu apakah ada izin resmi yang
dikeluarkan untuk pembangunan pagar laut tersebut atau apakah proyek ini
benar-benar dilakukan secara swadaya tanpa keterlibatan pihak lain.
Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Banten, pihaknya belum pernah menerima pengajuan izin pembangunan
pagar laut sepanjang 30 kilometer tersebut. “Kami tidak menemukan dokumen
perizinan terkait proyek ini. Jika memang benar proyek ini dilakukan tanpa
izin, maka ada potensi pelanggaran hukum yang serius,” ujarnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
setiap kegiatan yang mengubah ekosistem pesisir wajib mendapatkan izin dari
pemerintah. Jika terbukti melanggar, para pihak yang terlibat bisa dikenakan
sanksi berupa denda hingga miliaran rupiah atau bahkan hukuman pidana.
Di sisi lain, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Lingkungan Hidup juga mulai turun tangan. Mereka
menuntut transparansi terkait sumber pendanaan pembangunan pagar laut ini.
“Kami mendesak agar pemerintah mengusut siapa sebenarnya yang mendanai proyek
ini. Apakah benar hanya patungan Rp 5.000 atau ada donatur besar di baliknya?”
kata Dimas Adi, salah satu aktivis lingkungan.
Misteri di Balik Sumber Dana: Ada
Donatur Besar?
Banyak pihak meragukan bahwa proyek sebesar
ini hanya didanai oleh iuran nelayan sebesar Rp 5.000 per orang. Beberapa
spekulasi muncul, termasuk dugaan bahwa ada pihak tertentu yang diam-diam
membiayai proyek ini untuk kepentingan bisnis atau politik.
Sejumlah analis menilai bahwa pembangunan
pagar laut ini berpotensi meningkatkan nilai properti di sekitarnya. “Jika
kawasan ini ditutup dan dikembangkan menjadi daerah privat, maka harga tanah
bisa melonjak tajam. Bukan tidak mungkin ada investor atau pengusaha yang
berkepentingan di balik proyek ini,” ujar seorang pakar tata ruang.
Namun, Shandy Marta Praja tetap bersikeras
bahwa proyek ini benar-benar murni inisiatif rakyat. Dalam pernyataannya, ia
menyebut bahwa dana diperoleh dari ribuan nelayan yang berkontribusi sedikit
demi sedikit. “Kami mengumpulkan dana selama bertahun-tahun untuk membangun
ini. Tidak ada kepentingan bisnis, ini murni untuk masyarakat,” tegasnya.
Mahasiswa dan Akademisi Ikut
Bersikap: ‘Ini Harus Ditindak!’
Setelah terungkapnya status DO Shandy
Marta Praja, berbagai akademisi dan mahasiswa turut angkat suara.
Mereka mempertanyakan kredibilitas Shandy dalam mengklaim dirinya sebagai
mahasiswa dan sebagai pemimpin JRP.
“Sebagai akademisi, kita perlu mengedepankan
transparansi dan kejujuran. Jika memang ada kebohongan dalam klaim ini, maka
publik perlu tahu,” kata seorang dosen dari Universitas Muhammadiyah
Tangerang (UMT).
Sementara itu, mahasiswa yang mengikuti debat
antara Shandy dan Kholid turut memberikan tanggapan. Banyak yang menyayangkan
kurangnya dasar argumen dari Shandy dalam mempertahankan proyeknya. “Sebagai
seorang aktivis, ia seharusnya memiliki data yang lebih kuat. Tapi saat didebat
oleh Kholid, argumennya lemah dan terkesan menghindar,” ujar salah satu
mahasiswa yang hadir dalam debat tersebut.
Di media sosial, banyak netizen yang menilai
bahwa kasus ini adalah bentuk penipuan publik jika benar proyek tersebut
dibangun tanpa izin dan didanai oleh pihak lain yang belum terungkap.
Akankah Ada Tindakan Hukum Lebih
Lanjut?
Dengan semakin banyaknya bukti dan pengakuan
yang mengarah pada pelanggaran hukum, banyak pihak mendesak agar aparat penegak
hukum turun tangan. Jika terbukti ada manipulasi data, pemalsuan dokumen, atau
penggelapan dana, maka kasus ini bisa berujung pada pidana berat.
Pemerintah Kabupaten Tangerang sendiri sudah
menyatakan bahwa mereka akan mengeluarkan surat penghentian proyek jika
terbukti pagar laut tersebut dibangun secara ilegal. “Kami akan mengambil
langkah hukum tegas jika pembangunan ini memang melanggar peraturan,” ujar
Bupati Tangerang.
Sementara itu, Kementerian Kelautan dan
Perikanan juga tengah menyiapkan sanksi administratif bagi pihak-pihak yang
terlibat. “Kami akan meninjau kembali apakah ada pelanggaran terhadap aturan
kelautan dan jika ditemukan pelanggaran, maka sanksi tegas akan dijatuhkan,”
ujar Menteri KKP.
Benarkah Pagar Laut Ini Demi
Kepentingan Rakyat?
Kasus pembangunan pagar laut di pesisir utara
Kabupaten Tangerang masih menyisakan banyak pertanyaan. Benarkah proyek ini
benar-benar untuk kepentingan masyarakat? Ataukah ada pihak yang diam-diam
mengambil keuntungan?
Fakta bahwa Shandy Marta Praja telah
dikeluarkan dari kampusnya sejak 2021 juga menambah spekulasi tentang
kredibilitasnya dalam mengklaim bahwa proyek ini sepenuhnya swadaya.
Dengan berbagai penyelidikan yang masih
berlangsung, publik menanti apakah proyek ini akan dihentikan, apakah ada
sanksi yang dijatuhkan, dan apakah akan ada tersangka yang diproses hukum.
Yang pasti, kasus ini menjadi peringatan bagi
masyarakat dan pemerintah untuk lebih waspada terhadap proyek-proyek yang tidak
transparan dan berpotensi merugikan lingkungan serta hak-hak publik.
Apakah benar telah Terbongkar!?? Nelayan Akui Dibayar Rp100 Ribu untuk
Syuting Konten Pagar Laut Abu Janda
source
: https://www.viva.co.id/trending/1792470-nelayan-bongkar-kepalsuan-konten-abu-janda-soal-pagar-laut-syuting-dibayar-rp100-ribu
Sebuah pengakuan mengejutkan datang dari para nelayan yang sebelumnya
muncul dalam video Abu Janda tentang pagar laut. Beberapa dari mereka akhirnya
mengungkap bahwa mereka dibayar Rp100 ribu untuk tampil dalam video tersebut.
Hal ini memicu spekulasi bahwa video yang dibuat oleh Abu Janda terkait pagar
laut mungkin tidak sepenuhnya menggambarkan realitas yang sebenarnya.
![]() |
source : www.viva.co.id |
Apakah Nelayan Ungkap Kebenaran ? : 'Kami Cuma Disuruh Bicara!'
Dalam wawancara dengan beberapa media, seorang nelayan yang identitasnya dirahasiakan mengungkap dia meyakini bahwa beberapa rekannya hanya mengikuti arahan untuk berbicara sesuai skrip. Mereka mengaku tidak benar-benar mengetahui duduk permasalahan soal pagar laut yang sedang menjadi kontroversi.
Dibayar Murah! Nelayan Disuruh Berakting Demi Konten Abu Janda?
Beberapa pihak mulai meragukan kredibilitas video yang dibuat oleh Abu
Janda. Pasalnya, jika memang para nelayan dalam video tersebut hanya berakting,
maka ini bisa menjadi bentuk manipulasi informasi yang menyesatkan publik.
Banyak warganet yang mulai mempertanyakan apakah video tersebut dibuat untuk
kepentingan tertentu.
Respons Warganet: 'Propaganda atau Fakta?'
Setelah berita ini mencuat, media sosial langsung dipenuhi komentar
warganet yang merasa tertipu dengan video tersebut. Banyak yang merasa kecewa
jika benar konten tersebut hanya rekayasa belaka.
"Kalau benar mereka cuma dibayar buat ngomong, ini bukan sekadar
hoaks biasa, tapi bisa jadi propaganda!" tulis salah satu pengguna
Twitter.
"Harusnya investigasi lebih lanjut, siapa yang mendanai video ini
dan tujuannya apa," ujar warganet lain.
Di sisi lain, ada juga yang masih membela Abu Janda dan menyebut bahwa
video tersebut hanya bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang pagar laut.
Namun, dengan terungkapnya fakta bahwa nelayan dalam video tersebut dibayar
untuk berbicara sesuai arahan, semakin banyak yang meragukan keaslian informasi
dalam video tersebut.
Mengapa Abu Janda Bungkam, Tidak Berikan Klarifikasi ??
Hingga saat ini, Abu Janda belum memberikan tanggapan resmi mengenai
pengakuan para nelayan. Banyak pihak yang menantikan klarifikasi dari dirinya
terkait isu ini. Beberapa pihak menilai bahwa jika memang tidak ada rekayasa
dalam video tersebut, seharusnya Abu Janda bisa memberikan bukti bahwa semua
yang disampaikan dalam videonya berdasarkan fakta dan bukan hasil settingan.
Namun, hingga kini, semua unggahan Abu Janda di media sosial terkait
pagar laut masih tetap ada, dan ia belum memberikan komentar terkait
kontroversi ini. Apakah ini berarti ia memang sengaja menghindari konfrontasi
atau masih mencari strategi untuk menjelaskan situasi ini?
Pakar Media: 'Manipulasi atau Tidak, Masyarakat Berhak Tahu Kebenaran'
Beberapa pakar media turut angkat bicara soal isu ini. Menurut mereka,
jika benar video ini dibuat dengan skenario tertentu tanpa memberi tahu
narasumber yang sesungguhnya, maka ini bisa dikategorikan sebagai manipulasi
informasi.
"Dalam dunia jurnalistik dan media sosial, kejujuran adalah yang
utama. Jika ada indikasi bahwa video ini dibuat dengan merekayasa narasi, maka
ini bisa berdampak buruk bagi kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang
beredar di internet," kata seorang pakar media digital dari Universitas
Indonesia.
Pakar tersebut menambahkan bahwa masyarakat perlu lebih kritis dalam
menerima informasi, terutama dari tokoh yang sering mengangkat isu-isu sensitif
di media sosial. "Kita harus selalu mengecek sumber informasi dan jangan
mudah percaya begitu saja," ujarnya.
---------------------------------------------------
Apakah Kebenaran Masih Samar ??, Walau Publik Sudah Mulai Meragukan
Apakah publik atau netizen akan berdiam diri membiarkan beberapa orang telah memberikan hoax berlebihan yang seakan-akan memecah presepsi kita akan masyarakat yang mulai lebih memilih oligarki dari pada kesatuan bangsa ini. ( opini)
----------------------------------------------
Kasus video Abu Janda tentang pagar laut kini menjadi perdebatan hangat
di kalangan masyarakat. Namun dengan munculnya pengakuan nelayan yang menyebut
mereka hanya berakting dalam video tersebut, banyak yang mulai mempertanyakan
niat dan tujuan sebenarnya di balik konten itu.
Apakah ini benar-benar hanya kesalahpahaman, atau ada motif lain yang lebih besar? Publik kini menantikan klarifikasi dari Abu Janda dan pihak-pihak terkait. Yang jelas, kasus ini menjadi pengingat bahwa tidak semua yang kita lihat di media sosial adalah kebenaran sejati. Oleh karena itu, sikap kritis dan keinginan untuk mencari fakta tetap menjadi hal yang penting dalam era informasi digital saat ini.