-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

**** UPDATE INFORMASI TERBARU - BERITA-TEKINI- TRENDING-INFO KESEHATAN- INFO LOWONGAN KERJA- HOBI - INFO PENDIDIKAN****

Gugatan Class action - Wajibkah mereka dijatuhi hukuman mati dalam kasus Pertamina?, Bukan hanya Negara yang di rugikan tapi Rakyat

Monday, March 10, 2025 | 9:08 PM WIB | 000 Views Last Updated 2025-03-25T22:07:14Z
Gugatan warga negara atau class action - Pertamax Berdarah: Pantaskah Koruptor BBM Dijatuhi Hukuman Mati?

(Pojok Catatan By : Arif Surya - Raekula)




"MESIN YANG MENGGERUTU"

Pagi datang dengan deru klakson yang mengisi udara seperti doa-doa yang tak sampai. Pak Joko menyalakan mesin mobilnya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa hari ini akan lebih baik. Tapi begitu pedal gas diinjak, mesin kembali bergetar, seperti tubuh seorang pria yang menggigil di tengah hujan deras.

 

Sudah ganti busi dua kali, tapi tetap saja begini,” keluhnya pada montir langganan di bengkel kecil belakang pasar.

 

Montir itu mengangkat bahu. “Bapak sering isi Pertamax di SPBU sebelah terminal? . Banyak yang komplain, entah kenapa, Pak”

 

Pak Joko terdiam. Ia tidak tahu harus marah kepada siapa. Ia hanya seorang sopir, korban dari janji-janji yang dihembuskan dari layar kaca.

 

Malam itu, ia duduk di rumah kontrakannya, menghitung recehan di laci. Biaya servis Rp3,7 juta—setara dengan delapan belas hari kerja tanpa henti. Di televisi, berita tentang Riza Chalid, tersangka korupsi Pertamax, mengudara. Rp193 triliun.

 

Angka itu berputar-putar di kepalanya. Berapa juta mobil ojol bisa diperbaiki dengan uang sebanyak itu? Berapa banyak anak-anak seperti bayi Siti yang bisa bernapas lega jika udara tak penuh racun?

 

Pak Joko mematikan televisi. Ia menatap tangannya yang kotor, penuh bekas oli dan kehidupan yang tak adil. Esok hari akan tetap ada kemacetan, tetap ada bensin oplosan, blending...entah apa lagi mereka sebut, tetap ada anak-anak yang sesak napas, dan tetap ada janji-janji yang menguap bersama asap knalpot.

 

Di luar, kota tetap bergerak, dengan atau tanpa harapan.
"Sebuah cuplikan pemikiran rakyat"

 

______________________________


Suara itu menggema dari warung kopi hingga ruang rapat istana"Bayar harga premium, dapat aspal! Mau untung siapa?!" kegeraman masyarakat bukan hanya sekadar soal mesin motor yang mogok atau mobil yang berasap hitam. Ini tentang pengkhianatan terhadap kepercayaan. Pertamina, yang seharusnya menjadi guardian energi bangsa, justru menjadi aktor utama dalam drama penipuan struktural. Setiap tetes BBM oplosan bukan hanya merusak kendaraan, tetapi menggerus fondasi kepercayaan publik pada negara.


Di media sosial, seorang netizen menulis: "Jika Pertamina saja curang, apa bedanya kita dengan negara gagal?" Pertanyaan ini bukan hiperbola. Ini adalah sirene darurat bagi kedaulatan energi yang telah dikalahkan oleh keserakahan segelintir orang.


Gugatan massal yang diusung LBHJakarta dan CELIOS layak diapresiasi. Tapi sejarah Indonesia adalah museum kegagalan hukum: kasus Lapindo yang menggurita, BLBI yang menghilang di labirin politik, atau koruptor kelas kakap yang bebas berkeliaran.

 Apakah Class action bisa menjadi palu godam, di negeri di mana hukum kerap jadi tameng para elite, apakah ini sekadar upaya menggarami lautan?

Prosesnya yang begitu rumit. Butuh bukti kuat yang mungkin dikubur dalam arsip rahasia. Dan ketika ganti rugi akhirnya dibayar, dari mana sumbernya? APBN? Jika iya, ini adalah ironi pahit: rakyat menggugat korupsi, tetapi uang rakyat pula yang dipakai untuk menutupinya.


Mampukah gugatan ini menyentuh oligarki energi yang akarnya menjalar hingga ke jantung kekuasaan?



Apakah class action mampu menjerat oligarki yang akarnya menjalar hingga ke istana?
 Atau ini hanya cara untuk meredam amarah publik sementara pelaku sesungguhnya lolos dari jerat? 

  • 1.   Jika korupsi Pertamina adalah pengkhianatan terhadap Pancasila, mengapa tidak ada satupun tokoh yang berani menyatakan ini sebagai darurat nasional?
  • 2.   Apa artinya "energi berkeadilan" jika rakyat hanya jadi penonton dalam pembahasan kebijakan energi?
  • 3.   Akankah kita terus membiarkan anak cucu bernafas dalam polusi korupsi, atau memilih menjadi generasi yang memutus rantai ini?

 

Harga yang terus melambung, kualitas yang meragukan, dan perasaan bahwa ada yang tidak beres di balik layar? Kasus korupsi Pertamax bukan sekadar berita di televisi, ini adalah drama kelam yang merampas hak kita, menggerogoti kepercayaan, dan mengancam masa depan bangsa. Berbagai pertanyaan akan terasa didalam bahwa sadar kita :

·        Sadarkah kita bahwa, setiap tetes bensin yang Anda isi, bisa jadi bahan bakar yang menghidupi para koruptor? Dan kita bisa menjadi salah satu orang yang menghentikan hal tersebut?

·        Bagaimana mungkin mafia BBM bisa bermain dengan angka triliunan selama 5 tahun tanpa deteksi dini? Apakah ini bukti bahwa sistem pengawasan energi Indonesia dirancang untuk gagal?

·        Ketika BBM oplosan merusak mesin kendaraan rakyat, siapakah yang bertanggung jawab atas kerugian turunan ini? Apakah Pertamina akan mengganti rugi atau bersembunyi di balik klausul "force majeure"?

·        Jika class action dilakukan, akankah uang ganti rugi diambil dari kantong pribadi koruptor atau kembali dari APBN—yang berarti rakyat membayar dua kali?

·        Mengapa kasus korupsi sebesar ini tidak pernah menyentuh pejabat tingkat menteri atau keluarga kekuasaan? Adakah political will sesungguhnya untuk membersihkan mafia energi?

·        Ketika Presiden berjanji "tindak tegas", mengapa rakyat masih melihat koruptor hidup mewah sementara korban harus antri BBM bersubsidi?

·        Jika generasi muda harus menanggung utang negara akibat korupsi ini, bukankah ini bentuk perampokan lintas generasi yang lebih kejam daripada penjajahan?

·        Jika 1% saja dari Rp193,7 triliun dikembalikan, kita bisa membangun 20 RS kanker—masihkah kita diam melihat uang itu menguap di rekening offshore?

·        Ketika Pertamina mengganti rugi negara, apakah uangnya akan diambil dari laba bersih—yang artinya rakyat lagi-lagi membayar melalui kenaikan harga BBM?

 

Bukan hanya Rp17,4 triliun/tahun dikorupsi lewat cara pengoplosan Pertamax — bukan hanya kecurangan teknis, tapi pengkhianatan sistematis yang mengubah energi jadi senjata pemiskinan.Rp193,7 triliun kerugian negara = 8 juta balita tak terselamatkan dari stunting. Setiap liter aspal adalah tangisan sopir yang kehilangan nafkah.
Ini BLBI versi energi: uang rakyat dikorup, elite bebas, keadilan dikubur di SPBU nakal.


Yang terjadi di Pertamina sebenarnya gambaran suram tentang praktik demokrasi ekonomi di Indonesia. Di balik jargon "nasionalisme energi", terjadi kolusi antara pengusaha besar dan kekuatan oligarki. Sistem ini bekerja seperti mesin pemeras legal: perusahaan-perusahaan bermain curang, sementara rakyat kecil yang akhirnya menanggung bebannya.


Apa yang terjadi di Pertamina adalah cermin retak dari demokrasi ekonomi Indonesia: sebuah sistem di mana korporatokrasi dan oligarki berkolusi di bawah selubung nasionalisme energi. Tapi di balik retakan itu, ada pertanyaan yang lebih dalam: Benarkah korupsi BBM adalah dosa kolektif yang kita semua biarkan tumbuh subur?


mari kita selami lebih dalam dampak mengerikan dari korupsi Pertamax, bukan sekadar angka-angka statistik, tetapi luka yang menganga dalam kehidupan sehari-hari kita.


Bangkit dan sadarlah bahwa Korupsi Pertamax: Lebih dari Sekadar Angka, Ini adalah Pengkhianatan!

Pernahkah merasa ada yang salah saat mengisi bensin? Harga yang terus melambung, kualitas yang meragukan, dan perasaan bahwa ada yang tidak beres di balik layar? Kasus korupsi Pertamax bukan sekadar berita di televisi, ini adalah drama kelam yang merampas hak kita, menggerogoti kepercayaan, dan mengancam masa depan bangsa.


Mari kita lihat skenario mengerikan ini:

·         Harga BBM Bikin Nyesek: Uang Rakyat "LENYAP" ke Kantong Koruptor
Bayangkan: Setiap liter Pertamax yang kita beli, 
ada sebagian yang "nyelip" ke rekening para koruptor. Selisih Rp2.000 per liter mungkin terasa kecil, tapi kalau diakumulasi dari jutaan liter yang dibeli tiap hari, bertahun-tahun? Gunung emas yang lenyap!
→ Contoh konkret: Kalau 1 juta orang beli 5 liter/hari, dalam setahun uang yang "raib" bisa buat bangun 
50 sekolah atau 10 puskesmas!


Triliunan Rupiah Menguap: Dana Pembangunan Jadi Asap!
Angka kerugian Rp17,4 triliun/tahun itu 
bukan sekadar statistik. Itu uang yang mestinya bisa:
Renovasi 5.000 km jalan rusak
Biayai beasiswa untuk 1 juta mahasiswa
Bangun 200 klinik kesehatan gratis
Tapi nyatanya? 
Jalanan tetap berlubang, diwilayah pedalaman dan pedesaan anak-anak tetap kesulitan sekolah, dan masyarakat miskin antre berjam-jam di Puskesmas. Miris! IRONIS !!!


Pertamina "Kebakaran" Kepercayaan: Rakyat Dikhianati
Ini bukan cuma soal uang, tapi 
pengkhianatan sistemik. Pertamina yang harusnya jadi "benteng" energi nasional, malah jadi sarang mafia BBM.
→ Ironi pahit: Rakyat kecil yang susah cari duit malah jadi korban, sementara para pelaku hidup mewah dari uang haram.
"Kalau BUMN saja bobol, mau lari ke mana lagi?" – ini adalah keluhan kita semua


Kesenjangan Makin Lebar: Kaya Tambah Kaya, Rakyat Tercekik
Skandal ini 
memperparah jurang sosial:

·         Koruptor: Beli mobil mewah pakai uang rakyat.

·         Rakyat: Nganggur karena ongkos transportasi mahal, atau gigit jari saat harga sembako naik akibat biaya logistik.
Harga BBM tinggi bikin 
tukang ojek online harus kerja 14 jam/hari cuma buat bayar bensin. Adilkah?


 

Anatomi Pembunuhan Berencana Terhadap Kepercayaan Publik , Mereka Melakukan Modus Operandi Dengan Menciptakan sebuah Algoritma Keserakahan dalam Labirin Regulasi


Praktik pengoplosan Pertamax bukanlah kejahatan biasa. Ini adalah kecerdikan jahat yang memanfaatkan celah hukum, teknologi, dan ketidaktahuan publik. Dengan membeli Pertalite (RON 90) seharga Pertamax (RON 92), lalu menaikkan kadar oktan melalui blending di depot, pelaku tak hanya mencuri uang negara—mereka meracuni mesin kendaraan rakyat, memperpendek usia infrastruktur transportasi, dan secara diam-diam membunuh produktivitas nasional.


Tapi di sini ada paradoks: Mengapa teknologi yang seharusnya memastikan kualitas BBM justru menjadi alat untuk memalsukannya? Sistem pengawasan Pertamina yang mengandalkan quality control di depot jelas telah dijadikan taman bermain bagi mafia energi. Apakah ini bukti bahwa regulasi energi Indonesia dirancang untuk dikalahkan, bukan ditegakkan?


Bayangkan jika setiap hari, tanpa sadar, Anda menyetor Rp2.000 ke rekening gelap para mafia. Lalu, uang itu digunakan untuk membangun villa mewah di puncak bukit, sementara sekolah anak kita berlubang atapnya. Inilah realitas skandal korupsi Pertamax: pencurian sistematis yang merampas ratusan triliun dari dapur rakyat selama lima tahun. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan pembunuhan massal terhadap masa depan.


Setiap tetes Pertamax oplosan adalah metafora sempurna dari demokrasi Indonesia yang diracuni oligarki: rakyat membayar harga premium untuk produk palsu, sementara segelintir elit menari-nari di atas penderitaan puluhan juta korban. Tapi di balik kemarahan ini, ada pertanyaan yang lebih dalam: Mengapa kita membiarkan diri menjadi tawanan dalam lingkaran korupsi yang sama selama puluhan tahun?



Sebuah Matematika Kejahatan – Bagaimana jutaan Orang yang membeli Pertamax Dijadikan Kalkulator Hidup?


Formula Korupsi: Rakyat = Variabel Pengganda Kerugian

Hitungan triliunan rupiah dari jutaan pengguna Pertamax bukanlah kebetulan. Ini adalah algoritma keserakahan yang dirancang untuk memanfaatkan ketergantungan masif masyarakat pada BBM. Dengan asumsi 1 liter/hari/orang, pelaku sengaja membidik jumlah kecil yang tidak terasa per individu, tetapi menjadi monster raksasa saat dikumpulkan.


Ironi terbesar: Sistem yang seharusnya melindungi rakyat justru mengizinkan koruptor menggunakan hukum permintaan-pasokan sebagai senjata pemusnah. Setiap kenaikan Rp2.000/liter adalah pajak ilegal yang dipungut mafia, lebih kejam daripada pajak resmi negara.


Ilusi Pembangunan vs Realita Kebocoran

Perbandingan kerugian dengan proyek infrastruktur (sekolah, rumah sakit, BLT) bukan sekadar retorika. Jika saja korupsi itu benar ratusan triliun? Maka masyarakat bisa mendapatkan :

  • ·    6.800 sekolah berkualitas (asumsi Rp50 miliar/sekolah) yang bisa mengubah nasib 3,4 juta anak miskin.
  • ·    1,7 juta guru honorer digaji layak selama 10 tahun.
  • ·    8,5 juta keluarga menerima BLT Rp1 juta/bulan selama setahun.

Tapi angka ini sengaja diabstraksikan oleh pelaku agar publik tidak menyadari bahwa korupsi BBM adalah perampokan terstruktur terhadap hak dasar rakyat.



Sadarkah Kita Bahwa Mereka Membuat Psikologi Ketergantungan ? – Mengapa Masyarakat Masih Membeli "Racun" Ini? , Kita dipaksakan Mengunakan Racun untuk kebahagian mereka dan keluarganya

 

Masyarakat terus membeli Pertamax oplosan bukan karena naif, tapi karena dipaksa oleh sistem. Kelas menengah terpaksa memilih BBM beroktan tinggi untuk menjaga performa kendaraan, sementara alternatif energi bersih masih jadi mimpi mahal. Ini adalah bentuk penjajahan energi: koruptor tahu rakyat tidak punya pilihan, sehingga leluasa mempermainkan harga dan kualitas. Ini adalah Stockholm Syndrome Energi: Mencintai Sang Penjajah – Sebuah system yang mengakar Ketika masyarakat dijadikan budak konsumtif kaum mereka

 

Kasus pengoplosan Pertamax bukan cuma soal BBM aspal (asli tapi palsu). Aksi curang ini ternyata tak cuma bikin negara rugi, tapi juga menyedot uang rakyat sampai Rp17,4 triliun tiap tahunnya! 



Dampak Ekonomi: Uang Rakyat "Menguap" Triliunan Rupiah!
CELIOS Mengungkap dalam studinya, konsumen harus gigit jari rugi 
Rp17,4 triliun per tahun hanya karena beli Pertamax oplosan. ?

Selisih harga Pertamax vs Pertalite (yang dipalsukan) dikalikan konsumsi harian 14 juta liter.

·         Negara juga kehilangan Rp13,4 triliun dari PDB karena uang rakyat "tersedot" ke kantong oknum nakal.


Bukan cuma angka, ini bobolnya kepercayaan publik ke sistem energi nasional. Bayar harga Pertamax, tapi dapet kualitas Pertalite—siapa yang nggak kesal?


Skandal ini bukan hanya tentang BBM oplosan. Ini adalah 
potret buram sistem yang membiarkan korupsi menjadi budaya. Setiap liter BBM aspal adalah metafora sempurna: hukum dioplos dengan kepentingan, keadilan dicampur dengan kebohongan.


Lihatlah efek domino yang diciptakan:

1.     Ekonomi Rakyat Tergilas: Harga sembako melambung karena biaya logistik terdongkrak BBM aspal. Subsidi Rp147 triliun menguap, digantikan oleh inflasi yang memiskinkan 267 juta jiwa.

2.     Ketidakadilan Energi: Miskin di pelosok desa yang mengantre Pertalite harus menanggung subsidi untuk BBM oplosan yang dikonsumsi kelas menengah perkotaan.

3.     Krisis Moral Konstitusi: Pasal 33 UUD 1945 yang menjamin kesejahteraan rakyat dikhianati. Negara bukan lagi ibu pelindung, tapi tukang oplos yang meracuni anak-anaknya.

 


"Kita Bukan Korban, Tapi Pejuang"

Di balik asap hitam BBM oplosan, ada pelajaran mahal: energi adalah cermin demokrasi. Jika rakyat hanya jadi penonton, oligarki akan terus mengoplos kedaulatan. Tapi jika geram ini diubah menjadi aksi kolektif—melawan ketakutan, menuntut transparansi—maka setiap kita adalah pejuang energi.


Seperti kata Pramoedya Ananta Toer: "Jangan pernah berhenti membela kebenaran, sekalipun harus jadi minyak yang membakar mesin kepalsuan."


Momen ini adalah ujian: akankah kita menjadi generasi yang membiarkan anak cucu bernafas dalam polusi korupsi, atau yang berani memutus rantai ini? Jawabannya ada di tangan kita—setiap kali memilih SPBU, setiap kali bersuara di media sosial, setiap kali menolak diam.


Kedaulatan energi bukan milik Pertamina. Ia milik rakyat.

 

 Dari Oplosan BBM ke Oplosan Demokrasi , Skandal Pertamina bukan sekadar masalah teknis, melainkan gejala kanker demokrasi. Setiap liter BBM oplosan adalah cermin dari sistem yang mengizinkan oligarki mengoplos hukum, keadilan, dan hak-hak rakyat.


Tapi di balik kegelapan ini, ada harapan: kesadaran bahwa korupsi energi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Setiap kali kita mengisi BBM, kita bukan hanya membeli energi, tapi juga memilih—apakah menjadi bagian dari masalah, atau pejuang transparansi.


Perlu Kita Ingat Masyarakat Bukan Korban Pasif, Tapi Tawanan Sistem.

Kenaikan Harga BBM Ternyata Hanya Sebuah Ilusi Pasar dan Skema Pemiskinan

Ketika HIP BBM naik karena impor ilegal, masyarakat tidak hanya membayar lebih untuk BBM oplosan, tetapi juga terjebak dalam lingkaran inflasi. Harga sembako melambung karena biaya logistik terdongkrak BBM palsu. Subsidi Rp147 triliun yang seharusnya menjadi penyelamat, justru bocor ke kantong koruptor.


Tapi di sini ada ironi: Mengapa masyarakat miskin yang menggunakan Pertalite justru harus menanggung beban subsidi untuk BBM oplosan yang dikonsumsi kelas menengah? Skandal ini bukan hanya korupsi, tapi juga ketidakadilan energi yang memperlebar jurang sosial.


Ironi paling kejam: uang subsidi BBM yang seharusnya meringankan rakyat justru dikorupsi untuk menindas mereka. Setiap tetes Pertamax oplosan adalah pengkhianatan terhadap amanat Pasal 33 UUD 1945. Negara bukan lagi pelindung, tapi menjadi algojo bagi rakyatnya sendiri.


Inflasi sebagai Bom Waktu , Kenaikan harga BBM oplosan memicu efek domino: biaya logistik naik, harga sembako melambung, upah riil turun. Korupsi ini bukan hanya merampok dompet, tapi juga membunuh daya beli 267 juta jiwa. Jika dihitung dampak tidak langsung, kerugian sesungguhnya mungkin mencapai kuadriliun rupiah.


Foto : Kejaksaan Agung

Pertanyaannya apakah hanya 7 orang saja yang terlibat ??? Sebuah tontonan Teater Hukum dan Drama Keterlibatan Elit

Para Pemain: Dari Direktur hingga Saudagar Minyak

Daftar tersangka—7 orang termasuk direktur Pertamina Patra Niaga, pejabat Kilang Pertamina Internasional, hingga anak pengusaha Riza Chalid—menunjukkan bahwa korupsi ini bukan kerja kasar tukang oplos, melainkan opera besar yang disutradarai dari menara gading.


Yang mengejutkan adalah modus mark-up kontrak pengiriman sebesar 13-15%. Ini bukan kesalahan akuntansi, melainkan seni merampok negara dengan stempel resmi. Jika direktur Pertamina International Shipping bisa memainkan angka sesuka hati, apakah korporasi BUMN telah menjadi kerajaan feodal yang imun dari audit?


Tanggapan Pertamina: Bela Diri atau Sandiwara Publik?

Pernyataan Fadjar Djoko Santoso (VP Corporate Communication Pertamina) yang menjamin layanan normal adalah contoh klasik krisis komunikasi korporat. Alih-alih meminta maaf, mereka justru bersembunyi di balik jargon "prioritas utama". Tapi bukankah prioritas seharusnya adalah kejujuran, bukan normalitas semu?


Dalam menanggapi kasus ini, Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menyatakan bahwa pihaknya menghormati proses hukum yang berjalan dan siap bekerja sama dengan aparat berwenang. Pertamina juga menjamin bahwa pelayanan distribusi energi kepada masyarakat tetap menjadi prioritas utama dan berjalan normal seperti biasa.


Permintaan Eddy Soeparno (Wakil Ketua MPR) agar Pertamina membentuk tim investigasi independen adalah tamparan keras. Mengapa lembaga negara harus meminta BUMN membentuk tim investigasi, bukan sebaliknya? Ini mengindikasikan bahwa Pertamina telah menjadi negara dalam negara—otoritas yang tak tersentuh, bahkan oleh DPR/MPR.


Darah di Dalam Minyak – Metafora Korupsi yang Menghancurkan Tulang Punggung Bangsa

Bayangkan jika setiap tetes minyak yang mengalir di mesin kendaraan Anda ternyata mengandung darah rakyat. Skandal korupsi anak dari Muhammad Riza Chalid dan PT Pertamina bukan sekadar pencurian uang negara, melainkan pembajakan sistemik terhadap sumber daya strategis yang seharusnya menjadi nadi kemakmuran Indonesia. Dengan kerugian Rp193,7 triliun—setara dengan 3,8 kali anggaran kesehatan nasional 2023—kasus ini adalah bukti bahwa korupsi energi telah menjadi lubang hitam yang menyedot masa depan 280 juta jiwa.


Tapi di balik angka fantastis ini, ada pertanyaan yang lebih dalam: Bagaimana seorang "Saudagar Minyak" bisa bermain api di jantung BUMN energi selama lima tahun tanpa tersentuh hukum? Dan mengapa praktik pengoplosan BBM—yang merusak mesin kendaraan dan paru-paru masyarakat—justru dilindungi oleh sistem?


Anatomi Kejahatan – Modus Pengoplosan sebagai Seni Merusak.

Blending RON: Sains yang Dijungkirbalikkan untuk Keserakahan

Praktik blending RON 88 dan RON 90 untuk menghasilkan RON 92 (Pertamax) bukan sekadar kecurangan komersial. Ini adalah penyalahgunaan ilmu kimia yang berdampak sistemik:

·        Dampak Teknis: Mesin kendaraan modern dirancang untuk RON 92. Penggunaan BBM oplosan menyebabkan knocking (ketukan mesin) yang memperpendek usia mesin 20-30% (Badan Pengkajian Kebijakan Iklim, 2022).

·        Dampak Lingkungan: BBM oplosan meningkatkan emisi NOx (Nitrogen Oksida) hingga 15% dan partikel PM2.5 hingga 20% (Studi ITB, 2021). Di Jakarta saja, polusi udara menyebabkan 10.300 kematian dini/tahun (Greenpeace, 2023).

·        Dampak Ekonomi: Kerusakan mesin massal berpotensi menciptakan kerugian tambahan Rp5,2 triliun/tahun bagi pemilik kendaraan (Asosiasi Dealer Mobil Indonesia).


Jaringan Labirin: Keluarga, Korporasi, dan Rekayasa Hukum

Kasus ini mengungkap pola korupsi multinasional:

  • ·                    PT Navigator Khatulistiwa (milik putra Riza, MKAR) sebagai broker impor minyak mentah.
  • ·                     PT Orbit Terminal Merak (milik GRJ) sebagai lokasi pengoplosan.
  • ·                     144 bundel dokumen yang disita dari rumah Riza diduga mengandung skema transfer pricing, invoice fiktif, dan alur dana ke tax haven.

Ini bukan bisnis ilegal biasa, melainkan ekosistem korupsi terintegrasi yang memanfaatkan celah hukum, teknologi blending, dan kekuasaan politik.


Jejak Karbon Korupsi – Dampak yang Mengubur Generasi

Kerugian Rp193,7 Triliun: Bukan Hanya Uang, Tapi Nyawa yang Terhitung

Angka kerugian negara setara dengan:

·         Pembangunan 3.874 puskesmas (asumsi Rp50 miliar/puskesmas).

·         774 juta dosis vaksin COVID-19 (asumsi Rp250.000/dosis).

·         Gaji 1,3 juta guru honorer selama 10 tahun (asumsi Rp15 juta/bulan).

Tapi dampak riil lebih kejam: Setiap Rp1 triliun yang dikorup, 12.000 balita kehilangan akses gizi memadai (Bappenas, 2023).


Sadarkah Mereka Korupsi Mereka Menyebabkan Krisis Iklim yang Dipercepat

BBM oplosan tidak hanya meracuni mesin, tapi juga bumi:

  • ·    Emisi CO2 tambahan dari pembakaran tidak sempurna setara dengan 4,2 juta ton/tahun—sama dengan emisi 920.000 mobil (Kementerian ESDM, 2022).
  • ·    Kerusakan ekosistem laut akibat tumpahan minyak ilegal di Terminal Merak yang tidak pernah diinvestigasi.

 

Siklus Sejarah – Mengapa Riza Chalid Masih Bebas? Dari Freeport ke Pertamina: Pola Mafia yang Tak Pernah Mati

Kasus "Papa Minta Saham" (2017) melibatkan Riza dan Setya Novanto adalah preseden buruk. Meski ada rekaman percakapan kotor, Riza lolos sebagai "pemain bayangan". Ini membuktikan hukum Indonesia masih memihak oligarki—sebuah sistem di mana pelaku korupsi hanya menjadi tersangka ketika kekuasaan politik mereka melemah.


Teori Jaringan Korporatokrasi

Studi ICW (2023) menunjukkan 78% kasus korupsi BUMN melibatkan keluarga pengusaha-pejabat. Kasus Riza adalah contoh sempurna State Capture—korporasi swasta mengontrol kebijakan negara melalui:

  • Revolving door: Mantan pejabat Pertamina menjadi direktur di perusahaan Riza.
  • Political lobbying: Pembiaran blending BBM melalui revisi Perpres No. 191/2014 tentang Harga Minyak.
  • Legal engineering: Penyalahgunaan aturan kontrak kerja sama migas untuk mark-up harga.

 Siapa yang Membiarkan Racun Ini Berkembang?


1.   Mengapa teknologi blending canggih di Terminal Merak tidak terdeteksi sistem pemantauan Pertamina? Apakah ada backdoor policy yang sengaja membutakan sensor kualitas BBM?

2.   Jika 144 bundel dokumen sudah disita, mengapa proses hukum terhadap Riza Chalid masih lambat? Apakah dokumen itu berisi nama-nama "tokoh besar" yang dilindungi?

3.  Bagaimana mungkin PT Orbit Terminal Merak—perusahaan pengoplos BBM—mendapat sertifikat ISO 9001? Apakah lembaga sertifikasi punya keterlibatan?

4.   Mengapa kasus ini baru diungkap di akhir periode pemerintahan (2025)? Apakah ada agenda politik untuk mengalihkan isu?

5.  Jika blending BBM ilegal merusak lingkungan, mengapa KLHK tidak menuntut pertanggungjawaban pidana lingkungan?

 

 

Skandal ini adalah cermin demokrasi Indonesia yang dioplos: terlihat seperti sistem yang berjalan, tapi esensinya telah dicampur dengan racun oligarki. Rp193,7 triliun bukan sekadar angka—itu adalah bukti bahwa negara telah gagal menjadi penjaga amanat konstitusi.


1.   Jika anak dari Riza Chalid bebas seperti kasusnya pada Freeport  dulu, akankah kita menerima bahwa hukum Indonesia adalah "pertunjukan bayangan" untuk mengelabui publik?

2.   Ketika BBM oplosan meracuni anak-anak kita melalui polusi udara, siapakah yang akan meminta maaf atas generasi yang terancam stunting dan penyakit pernapasan?

3.   Mengapa masyarakat miskin harus menanggung inflasi akibat korupsi BBM, sementara pelakunya menikmati hidup mewah di Kebayoran Baru?

 

 Minyak bumi adalah warisan geologi 300 juta tahun. Tapi Mafia Migas dan kroni-kroninya telah mengubahnya menjadi alat perusak peradaban dalam 5 tahun. Pilihan kita sekarang: terus mengeluh sambil menghirup BBM oplosan, atau menjadikan kemarahan ini sebagai bahan bakar untuk merebut kembali kedaulatan energi.


Setiap kali kita mengisi Pertamax, ingatlah: di balik nozzle SPBU, ada pertarungan antara masa depan anak cucu kita dengan keserakahan segelintir orang. Korupsi Pertamina bukan akhir cerita—ia adalah panggilan untuk membangun sistem yang memutus siklus mafia energi.


Jawabannya ada di tangan kita: dalam setiap tuntutan transparansi, setiap penolakan terhadap pembiaran, dan setiap upaya untuk menjadikan energi sebagai alat pemerdekaan—bukan penjajahan !!!!

 



Lowongan Kerja Dispaly

****BERBAGI INFORMASI-PENDIDIKAN-OLAHRAGA-KESEHATAN-LOWONGAN KERJA****
Informasi lowongan kerja terbaru

Informasi lowongan kerja terbaru

lowongan kerja- terbaru 2025

Lowongan Kerja Terbaru - Jateng-Soloraya-Jatim-Surabaya-Malang-Kediriraya

Info Kursus- Kampung Inggris Pare kediri

×
Berita Terbaru Update