"MESIN YANG
MENGGERUTU"
Pagi datang dengan deru
klakson yang mengisi udara seperti doa-doa yang tak sampai. Pak Joko menyalakan
mesin mobilnya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa hari ini akan lebih baik. Tapi
begitu pedal gas diinjak, mesin kembali bergetar, seperti tubuh seorang pria
yang menggigil di tengah hujan deras.
“Sudah ganti busi dua
kali, tapi tetap saja begini,” keluhnya pada montir langganan di bengkel kecil
belakang pasar.
Montir itu mengangkat
bahu. “Bapak sering isi Pertamax di SPBU sebelah terminal? . Banyak yang komplain, entah kenapa, Pak”
Pak Joko terdiam. Ia
tidak tahu harus marah kepada siapa. Ia hanya seorang sopir, korban dari
janji-janji yang dihembuskan dari layar kaca.
Malam itu, ia duduk di
rumah kontrakannya, menghitung recehan di laci. Biaya servis Rp3,7 juta—setara
dengan delapan belas hari kerja tanpa henti. Di televisi, berita tentang Riza
Chalid, tersangka korupsi Pertamax, mengudara. Rp193 triliun.
Angka itu berputar-putar
di kepalanya. Berapa juta mobil ojol bisa diperbaiki dengan uang sebanyak itu?
Berapa banyak anak-anak seperti bayi Siti yang bisa bernapas lega jika udara
tak penuh racun?
Pak Joko mematikan
televisi. Ia menatap tangannya yang kotor, penuh bekas oli dan kehidupan yang
tak adil. Esok hari akan tetap ada kemacetan, tetap ada bensin oplosan, blending...entah apa lagi mereka sebut, tetap
ada anak-anak yang sesak napas, dan tetap ada janji-janji yang menguap bersama asap
knalpot.
Di luar, kota tetap
bergerak, dengan atau tanpa harapan.
"Sebuah cuplikan
pemikiran rakyat"
______________________________
"Sebuah cuplikan pemikiran rakyat"
Suara itu menggema dari warung kopi hingga ruang rapat istana: "Bayar harga premium, dapat aspal! Mau untung siapa?!" kegeraman masyarakat bukan hanya sekadar soal mesin motor yang mogok atau mobil yang berasap hitam. Ini tentang pengkhianatan terhadap kepercayaan. Pertamina, yang seharusnya menjadi guardian energi bangsa, justru menjadi aktor utama dalam drama penipuan struktural. Setiap tetes BBM oplosan bukan hanya merusak kendaraan, tetapi menggerus fondasi kepercayaan publik pada negara.
Di media sosial, seorang netizen menulis: "Jika Pertamina saja curang, apa bedanya kita dengan negara gagal?" Pertanyaan ini bukan hiperbola. Ini adalah sirene darurat bagi kedaulatan energi yang telah dikalahkan oleh keserakahan segelintir orang.
Gugatan massal yang diusung LBHJakarta dan CELIOS layak diapresiasi. Tapi sejarah Indonesia adalah museum kegagalan hukum: kasus Lapindo yang menggurita, BLBI yang menghilang di labirin politik, atau koruptor kelas kakap yang bebas berkeliaran.
Apakah Class action bisa
menjadi palu godam, di negeri di mana hukum kerap jadi tameng
para elite, apakah ini sekadar upaya menggarami lautan?
Prosesnya yang begitu rumit. Butuh bukti
kuat yang mungkin dikubur dalam arsip rahasia. Dan ketika ganti rugi akhirnya
dibayar, dari mana sumbernya? APBN? Jika iya, ini adalah ironi pahit: rakyat
menggugat korupsi, tetapi uang rakyat pula yang dipakai untuk menutupinya.
Mampukah gugatan ini menyentuh oligarki energi yang akarnya menjalar hingga ke jantung kekuasaan?
Apakah class action mampu menjerat oligarki yang akarnya menjalar hingga ke
istana? Atau
ini hanya cara untuk meredam amarah publik sementara pelaku sesungguhnya lolos
dari jerat?
- 1. Jika korupsi Pertamina adalah pengkhianatan terhadap Pancasila, mengapa tidak ada satupun tokoh yang berani menyatakan ini sebagai darurat nasional?
- 2. Apa artinya "energi berkeadilan" jika rakyat hanya jadi penonton dalam pembahasan kebijakan energi?
- 3. Akankah kita terus membiarkan anak cucu bernafas dalam polusi korupsi, atau memilih menjadi generasi yang memutus rantai ini?
Harga yang terus melambung,
kualitas yang meragukan, dan perasaan bahwa ada yang tidak beres di balik
layar? Kasus korupsi Pertamax bukan sekadar berita di televisi, ini adalah
drama kelam yang merampas hak kita, menggerogoti kepercayaan, dan mengancam masa
depan bangsa. Berbagai pertanyaan akan terasa didalam bahwa sadar kita :
·
Sadarkah kita bahwa, setiap tetes bensin yang Anda isi, bisa jadi bahan bakar yang menghidupi
para koruptor? Dan kita bisa menjadi salah satu orang yang
menghentikan hal tersebut?
·
Bagaimana
mungkin mafia BBM bisa bermain dengan angka triliunan selama 5 tahun tanpa
deteksi dini? Apakah ini bukti bahwa sistem pengawasan energi Indonesia dirancang
untuk gagal?
·
Ketika
BBM oplosan merusak mesin kendaraan rakyat, siapakah yang bertanggung jawab
atas kerugian turunan ini? Apakah Pertamina akan mengganti rugi atau
bersembunyi di balik klausul "force majeure"?
·
Jika
class action dilakukan, akankah uang ganti rugi diambil dari kantong pribadi
koruptor atau kembali dari APBN—yang berarti rakyat membayar dua kali?
·
Mengapa
kasus korupsi sebesar ini tidak pernah menyentuh pejabat tingkat menteri atau
keluarga kekuasaan? Adakah political will sesungguhnya untuk
membersihkan mafia energi?
·
Ketika
Presiden berjanji "tindak tegas", mengapa rakyat masih melihat
koruptor hidup mewah sementara korban harus antri BBM bersubsidi?
·
Jika
generasi muda harus menanggung utang negara akibat korupsi ini, bukankah ini
bentuk perampokan lintas generasi yang lebih kejam daripada penjajahan?
·
Jika
1% saja dari Rp193,7 triliun dikembalikan, kita bisa membangun 20 RS
kanker—masihkah kita diam melihat uang itu menguap di rekening offshore?
·
Ketika
Pertamina mengganti rugi negara, apakah uangnya akan diambil dari laba
bersih—yang artinya rakyat lagi-lagi membayar melalui kenaikan harga BBM?
Bukan hanya Rp17,4 triliun/tahun dikorupsi
lewat cara pengoplosan Pertamax — bukan hanya kecurangan teknis, tapi pengkhianatan sistematis yang mengubah energi jadi senjata pemiskinan.Rp193,7
triliun kerugian negara = 8 juta balita tak terselamatkan dari stunting. Setiap
liter aspal adalah tangisan sopir yang kehilangan nafkah.
Ini BLBI versi energi: uang rakyat dikorup, elite bebas, keadilan dikubur di
SPBU nakal.
Yang terjadi di Pertamina sebenarnya gambaran suram tentang praktik demokrasi
ekonomi di Indonesia. Di balik jargon "nasionalisme energi", terjadi
kolusi antara pengusaha besar dan kekuatan oligarki. Sistem ini bekerja seperti
mesin pemeras legal: perusahaan-perusahaan bermain curang, sementara rakyat
kecil yang akhirnya menanggung bebannya.
Apa yang terjadi di Pertamina
adalah cermin retak dari demokrasi ekonomi Indonesia: sebuah sistem di mana
korporatokrasi dan oligarki berkolusi di bawah selubung nasionalisme energi.
Tapi di balik retakan itu, ada pertanyaan yang lebih dalam: Benarkah korupsi BBM adalah dosa kolektif yang
kita semua biarkan tumbuh subur?
mari kita selami lebih dalam
dampak mengerikan dari korupsi Pertamax, bukan sekadar angka-angka statistik,
tetapi luka yang menganga dalam kehidupan sehari-hari kita.
Bangkit dan sadarlah bahwa Korupsi Pertamax: Lebih dari Sekadar Angka, Ini adalah Pengkhianatan!
Pernahkah merasa ada yang salah saat mengisi bensin? Harga
yang terus melambung, kualitas yang meragukan, dan perasaan bahwa ada yang
tidak beres di balik layar? Kasus korupsi Pertamax bukan sekadar berita di
televisi, ini adalah drama kelam yang merampas hak kita, menggerogoti
kepercayaan, dan mengancam masa depan bangsa.
Mari kita lihat skenario mengerikan ini:
·
Harga BBM Bikin Nyesek: Uang Rakyat "LENYAP" ke
Kantong Koruptor
Bayangkan: Setiap liter Pertamax yang kita beli, ada sebagian yang "nyelip" ke rekening
para koruptor.
Selisih Rp2.000 per liter mungkin terasa kecil, tapi kalau diakumulasi dari
jutaan liter yang dibeli tiap hari, bertahun-tahun? Gunung emas yang lenyap!
→ Contoh konkret: Kalau 1 juta orang beli 5 liter/hari, dalam
setahun uang yang "raib" bisa buat bangun 50 sekolah atau 10 puskesmas!
Triliunan
Rupiah Menguap: Dana Pembangunan Jadi Asap!
Angka kerugian Rp17,4 triliun/tahun itu bukan sekadar statistik. Itu uang yang mestinya bisa:
✓ Renovasi 5.000 km jalan rusak
✓ Biayai beasiswa untuk 1 juta mahasiswa
✓ Bangun 200 klinik kesehatan gratis
Tapi nyatanya? Jalanan tetap berlubang, diwilayah pedalaman dan pedesaan anak-anak tetap kesulitan sekolah, dan masyarakat miskin antre berjam-jam di
Puskesmas. Miris! IRONIS !!!
Pertamina
"Kebakaran" Kepercayaan: Rakyat Dikhianati
Ini bukan cuma soal uang, tapi pengkhianatan sistemik. Pertamina yang harusnya jadi "benteng" energi
nasional, malah jadi sarang mafia BBM.
→ Ironi pahit: Rakyat kecil yang susah cari duit malah jadi
korban, sementara para pelaku hidup mewah dari uang haram.
"Kalau BUMN saja
bobol, mau lari ke mana lagi?" – ini adalah keluhan kita semua
Kesenjangan
Makin Lebar: Kaya Tambah Kaya, Rakyat Tercekik
Skandal ini memperparah
jurang sosial:
·
Koruptor: Beli mobil mewah pakai uang rakyat.
·
Rakyat:
Nganggur karena ongkos transportasi mahal, atau gigit jari saat harga sembako
naik akibat biaya logistik.
Harga BBM tinggi bikin tukang ojek online harus kerja 14 jam/hari cuma buat bayar bensin. Adilkah?
Anatomi Pembunuhan Berencana Terhadap Kepercayaan Publik ,
Mereka Melakukan Modus Operandi Dengan Menciptakan sebuah Algoritma Keserakahan
dalam Labirin Regulasi
Praktik pengoplosan Pertamax
bukanlah kejahatan biasa. Ini adalah kecerdikan jahat yang
memanfaatkan celah hukum, teknologi, dan ketidaktahuan publik. Dengan membeli
Pertalite (RON 90) seharga Pertamax (RON 92), lalu menaikkan kadar oktan
melalui blending di depot, pelaku tak hanya mencuri uang negara—mereka meracuni
mesin kendaraan rakyat, memperpendek usia infrastruktur transportasi, dan
secara diam-diam membunuh produktivitas nasional.
Tapi di sini ada paradoks: Mengapa teknologi yang seharusnya memastikan kualitas BBM justru menjadi alat untuk memalsukannya? Sistem pengawasan Pertamina yang mengandalkan quality control di depot jelas telah dijadikan taman bermain bagi mafia energi. Apakah ini bukti bahwa regulasi energi Indonesia dirancang untuk dikalahkan, bukan ditegakkan?
Bayangkan jika setiap hari,
tanpa sadar, Anda menyetor Rp2.000 ke rekening gelap para mafia. Lalu, uang itu
digunakan untuk membangun villa mewah di puncak bukit, sementara sekolah anak kita berlubang atapnya. Inilah realitas skandal korupsi Pertamax: pencurian sistematis yang merampas ratusan triliun dari dapur rakyat selama lima tahun. Angka ini bukan sekadar statistik,
melainkan pembunuhan
massal terhadap masa depan.
Setiap tetes Pertamax oplosan
adalah metafora sempurna dari demokrasi Indonesia yang diracuni oligarki:
rakyat membayar harga premium untuk produk palsu, sementara segelintir elit
menari-nari di atas penderitaan puluhan juta korban. Tapi di balik kemarahan
ini, ada pertanyaan yang lebih dalam: Mengapa kita membiarkan diri menjadi tawanan dalam
lingkaran korupsi yang sama selama puluhan tahun?
Sebuah Matematika
Kejahatan – Bagaimana jutaan Orang yang membeli Pertamax Dijadikan Kalkulator
Hidup?
Formula Korupsi: Rakyat = Variabel Pengganda Kerugian
Hitungan triliunan rupiah dari jutaan pengguna Pertamax bukanlah kebetulan. Ini adalah algoritma keserakahan yang dirancang untuk memanfaatkan
ketergantungan masif masyarakat pada BBM. Dengan asumsi 1 liter/hari/orang,
pelaku sengaja membidik jumlah kecil yang tidak terasa per
individu, tetapi menjadi monster raksasa saat dikumpulkan.
Ironi terbesar: Sistem yang seharusnya melindungi
rakyat justru mengizinkan koruptor menggunakan hukum
permintaan-pasokan sebagai senjata pemusnah. Setiap kenaikan
Rp2.000/liter adalah pajak ilegal yang dipungut mafia, lebih kejam daripada
pajak resmi negara.
Ilusi Pembangunan vs Realita Kebocoran
Perbandingan kerugian dengan
proyek infrastruktur (sekolah, rumah sakit, BLT) bukan sekadar retorika. Jika
saja korupsi itu benar ratusan triliun? Maka masyarakat bisa mendapatkan :
- · 6.800 sekolah berkualitas (asumsi Rp50 miliar/sekolah) yang bisa mengubah nasib 3,4 juta anak miskin.
- · 1,7 juta guru honorer digaji layak selama 10 tahun.
- · 8,5 juta keluarga menerima BLT Rp1 juta/bulan selama setahun.
Tapi angka ini sengaja diabstraksikan oleh pelaku agar publik tidak menyadari bahwa korupsi BBM adalah perampokan terstruktur terhadap hak dasar rakyat.
Sadarkah Kita Bahwa Mereka Membuat Psikologi Ketergantungan ? – Mengapa
Masyarakat Masih Membeli "Racun" Ini? , Kita dipaksakan Mengunakan
Racun untuk kebahagian mereka dan keluarganya
Masyarakat terus membeli Pertamax oplosan bukan karena naif,
tapi karena dipaksa oleh sistem. Kelas menengah terpaksa
memilih BBM beroktan tinggi untuk menjaga performa kendaraan, sementara
alternatif energi bersih masih jadi mimpi mahal. Ini adalah bentuk penjajahan energi:
koruptor tahu rakyat tidak punya pilihan, sehingga leluasa mempermainkan harga
dan kualitas. Ini adalah Stockholm Syndrome Energi: Mencintai Sang
Penjajah – Sebuah system yang mengakar Ketika masyarakat dijadikan budak
konsumtif kaum mereka
Kasus pengoplosan Pertamax
bukan cuma soal BBM aspal (asli tapi palsu). Aksi curang ini ternyata tak cuma bikin negara rugi, tapi juga menyedot
uang rakyat sampai Rp17,4 triliun tiap tahunnya!
Dampak Ekonomi: Uang Rakyat
"Menguap" Triliunan Rupiah!
CELIOS Mengungkap dalam studinya, konsumen harus gigit jari rugi Rp17,4 triliun per tahun hanya karena beli Pertamax
oplosan. ?
Selisih harga Pertamax vs
Pertalite (yang
dipalsukan) dikalikan konsumsi harian 14 juta liter.
·
Negara
juga kehilangan Rp13,4
triliun dari
PDB karena uang rakyat "tersedot" ke kantong oknum nakal.
Bukan cuma angka, ini bobolnya kepercayaan publik ke sistem energi nasional. Bayar harga Pertamax, tapi dapet kualitas Pertalite—siapa yang nggak kesal?
Skandal ini bukan hanya tentang BBM oplosan. Ini adalah potret buram sistem yang membiarkan korupsi menjadi budaya.
Setiap liter BBM aspal adalah metafora sempurna: hukum dioplos dengan
kepentingan, keadilan dicampur dengan kebohongan.
Lihatlah efek domino yang
diciptakan:
1. Ekonomi Rakyat Tergilas: Harga sembako melambung karena biaya
logistik terdongkrak BBM aspal. Subsidi Rp147 triliun menguap, digantikan oleh
inflasi yang memiskinkan 267 juta jiwa.
2. Ketidakadilan Energi: Miskin di pelosok desa yang mengantre
Pertalite harus menanggung subsidi untuk BBM oplosan yang dikonsumsi kelas
menengah perkotaan.
3. Krisis Moral Konstitusi: Pasal 33 UUD 1945 yang menjamin
kesejahteraan rakyat dikhianati. Negara bukan lagi ibu pelindung, tapi tukang oplos yang meracuni anak-anaknya.
"Kita Bukan Korban, Tapi Pejuang"
Di balik asap hitam BBM
oplosan, ada pelajaran mahal: energi adalah cermin demokrasi. Jika rakyat hanya
jadi penonton, oligarki akan terus mengoplos kedaulatan. Tapi jika geram ini
diubah menjadi aksi kolektif—melawan ketakutan, menuntut transparansi—maka
setiap kita adalah pejuang energi.
Seperti kata Pramoedya Ananta
Toer: "Jangan pernah berhenti membela kebenaran, sekalipun harus
jadi minyak yang membakar mesin kepalsuan."
Momen ini adalah ujian: akankah
kita menjadi generasi yang membiarkan anak cucu bernafas dalam polusi korupsi,
atau yang berani memutus rantai ini? Jawabannya ada di tangan kita—setiap kali
memilih SPBU, setiap kali bersuara di media sosial, setiap kali menolak diam.
Kedaulatan
energi bukan milik Pertamina. Ia milik rakyat.
Dari Oplosan BBM ke Oplosan Demokrasi , Skandal
Pertamina bukan sekadar masalah teknis, melainkan gejala kanker
demokrasi. Setiap liter BBM oplosan adalah cermin dari sistem yang
mengizinkan oligarki mengoplos hukum, keadilan, dan hak-hak rakyat.
Tapi di balik kegelapan ini,
ada harapan: kesadaran bahwa korupsi energi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Setiap kali kita mengisi BBM, kita
bukan hanya membeli energi, tapi juga memilih—apakah menjadi bagian dari
masalah, atau pejuang transparansi.
Perlu Kita Ingat Masyarakat Bukan Korban Pasif, Tapi Tawanan Sistem.
Kenaikan Harga BBM Ternyata Hanya Sebuah Ilusi Pasar dan Skema Pemiskinan
Ketika HIP BBM naik karena
impor ilegal, masyarakat tidak hanya membayar lebih untuk BBM oplosan, tetapi
juga terjebak dalam lingkaran inflasi. Harga sembako melambung karena biaya
logistik terdongkrak BBM palsu. Subsidi Rp147 triliun yang seharusnya menjadi
penyelamat, justru bocor ke kantong koruptor.
Tapi di sini ada ironi: Mengapa masyarakat miskin yang menggunakan Pertalite justru harus menanggung beban subsidi untuk BBM oplosan yang dikonsumsi kelas menengah? Skandal ini bukan hanya korupsi, tapi juga ketidakadilan energi yang memperlebar jurang sosial.
Ironi paling kejam: uang
subsidi BBM yang seharusnya meringankan rakyat justru dikorupsi untuk menindas
mereka. Setiap tetes Pertamax oplosan adalah pengkhianatan terhadap amanat
Pasal 33 UUD 1945. Negara bukan lagi pelindung, tapi menjadi algojo bagi rakyatnya
sendiri.
Inflasi sebagai Bom Waktu , Kenaikan
harga BBM oplosan memicu efek domino: biaya logistik naik, harga sembako
melambung, upah riil turun. Korupsi ini bukan hanya merampok dompet, tapi
juga membunuh daya beli 267 juta jiwa. Jika dihitung
dampak tidak langsung, kerugian sesungguhnya mungkin mencapai kuadriliun
rupiah.
![]() |
Foto : Kejaksaan Agung |
Pertanyaannya apakah
hanya 7 orang saja yang terlibat ??? Sebuah tontonan Teater Hukum dan Drama
Keterlibatan Elit
Para Pemain: Dari Direktur hingga Saudagar Minyak
Daftar tersangka—7 orang
termasuk direktur Pertamina Patra Niaga, pejabat Kilang Pertamina
Internasional, hingga anak pengusaha Riza Chalid—menunjukkan bahwa korupsi
ini bukan kerja kasar tukang oplos, melainkan opera besar yang
disutradarai dari menara gading.
Yang mengejutkan adalah modus mark-up kontrak pengiriman sebesar 13-15%. Ini bukan kesalahan akuntansi, melainkan seni merampok negara dengan stempel resmi. Jika direktur Pertamina International Shipping bisa memainkan angka sesuka hati, apakah korporasi BUMN telah menjadi kerajaan feodal yang imun dari audit?
Tanggapan Pertamina: Bela Diri atau Sandiwara Publik?
Pernyataan Fadjar Djoko Santoso
(VP Corporate Communication Pertamina) yang menjamin layanan normal adalah
contoh klasik krisis komunikasi korporat. Alih-alih meminta maaf,
mereka justru bersembunyi di balik jargon "prioritas utama". Tapi
bukankah prioritas seharusnya adalah kejujuran, bukan normalitas semu?
Dalam menanggapi kasus ini, Vice
President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menyatakan
bahwa pihaknya menghormati proses hukum yang berjalan dan siap bekerja sama
dengan aparat berwenang. Pertamina juga menjamin bahwa pelayanan distribusi
energi kepada masyarakat tetap menjadi prioritas utama dan berjalan normal
seperti biasa.
Permintaan Eddy Soeparno (Wakil
Ketua MPR) agar Pertamina membentuk tim investigasi independen adalah tamparan
keras. Mengapa
lembaga negara harus meminta BUMN membentuk tim investigasi, bukan sebaliknya? Ini mengindikasikan bahwa
Pertamina telah menjadi negara dalam negara—otoritas yang tak
tersentuh, bahkan oleh DPR/MPR.
Darah di Dalam Minyak – Metafora Korupsi yang Menghancurkan
Tulang Punggung Bangsa
Bayangkan jika setiap tetes
minyak yang mengalir di mesin kendaraan Anda ternyata mengandung darah rakyat.
Skandal korupsi anak dari Muhammad Riza Chalid dan PT Pertamina bukan sekadar pencurian
uang negara, melainkan pembajakan sistemik terhadap sumber daya strategis yang seharusnya menjadi
nadi kemakmuran Indonesia. Dengan kerugian Rp193,7 triliun—setara dengan 3,8
kali anggaran kesehatan nasional 2023—kasus ini adalah bukti bahwa korupsi
energi telah menjadi lubang hitam yang menyedot masa depan
280 juta jiwa.
Tapi di balik angka fantastis
ini, ada pertanyaan yang lebih dalam: Bagaimana seorang "Saudagar Minyak" bisa
bermain api di jantung BUMN energi selama lima tahun tanpa tersentuh hukum? Dan mengapa praktik pengoplosan
BBM—yang merusak mesin kendaraan dan paru-paru masyarakat—justru dilindungi
oleh sistem?
Anatomi Kejahatan – Modus Pengoplosan sebagai Seni Merusak.
Blending RON: Sains yang Dijungkirbalikkan untuk Keserakahan
Praktik blending RON 88 dan RON
90 untuk menghasilkan RON 92 (Pertamax) bukan sekadar kecurangan komersial. Ini
adalah penyalahgunaan
ilmu kimia yang
berdampak sistemik:
·
Dampak Teknis: Mesin kendaraan modern dirancang untuk RON 92. Penggunaan BBM oplosan
menyebabkan knocking (ketukan mesin) yang memperpendek usia
mesin 20-30% (Badan Pengkajian Kebijakan Iklim, 2022).
·
Dampak Lingkungan: BBM oplosan meningkatkan emisi NOx (Nitrogen Oksida) hingga
15% dan partikel PM2.5 hingga 20% (Studi ITB, 2021). Di Jakarta saja, polusi
udara menyebabkan 10.300 kematian dini/tahun (Greenpeace, 2023).
·
Dampak Ekonomi: Kerusakan mesin massal berpotensi menciptakan kerugian
tambahan Rp5,2 triliun/tahun bagi pemilik kendaraan (Asosiasi Dealer Mobil
Indonesia).
Jaringan Labirin: Keluarga, Korporasi, dan Rekayasa Hukum
Kasus ini mengungkap
pola korupsi multinasional:
- · PT Navigator Khatulistiwa (milik putra Riza, MKAR) sebagai broker impor minyak mentah.
- · PT Orbit Terminal Merak (milik GRJ) sebagai lokasi pengoplosan.
- · 144 bundel dokumen yang disita dari rumah Riza diduga mengandung skema transfer pricing, invoice fiktif, dan alur dana ke tax haven.
Ini bukan bisnis ilegal biasa,
melainkan ekosistem
korupsi terintegrasi yang
memanfaatkan celah hukum, teknologi blending, dan kekuasaan politik.
Jejak Karbon
Korupsi – Dampak yang Mengubur Generasi
Kerugian Rp193,7 Triliun: Bukan Hanya Uang, Tapi Nyawa yang
Terhitung
Angka kerugian negara setara
dengan:
· Pembangunan
3.874 puskesmas (asumsi Rp50 miliar/puskesmas).
· 774
juta dosis vaksin COVID-19 (asumsi Rp250.000/dosis).
· Gaji
1,3 juta guru honorer selama 10 tahun (asumsi Rp15 juta/bulan).
Tapi dampak riil lebih
kejam: Setiap
Rp1 triliun yang dikorup, 12.000 balita kehilangan akses gizi memadai (Bappenas, 2023).
Sadarkah Mereka Korupsi Mereka Menyebabkan Krisis Iklim yang Dipercepat
BBM oplosan tidak hanya
meracuni mesin, tapi juga bumi:
- · Emisi CO2 tambahan dari pembakaran tidak sempurna setara dengan 4,2 juta ton/tahun—sama dengan emisi 920.000 mobil (Kementerian ESDM, 2022).
- · Kerusakan ekosistem laut akibat tumpahan minyak ilegal di Terminal Merak yang tidak pernah diinvestigasi.
Siklus Sejarah – Mengapa Riza Chalid Masih Bebas? Dari Freeport
ke Pertamina: Pola Mafia yang Tak Pernah Mati
Kasus "Papa Minta Saham" (2017) melibatkan Riza dan Setya Novanto adalah preseden buruk. Meski ada rekaman percakapan kotor, Riza lolos sebagai "pemain bayangan". Ini membuktikan hukum Indonesia masih memihak oligarki—sebuah sistem di mana pelaku korupsi hanya menjadi tersangka ketika kekuasaan politik mereka melemah.
Teori Jaringan Korporatokrasi
Studi ICW (2023) menunjukkan 78% kasus korupsi BUMN melibatkan keluarga pengusaha-pejabat. Kasus Riza adalah contoh sempurna State Capture—korporasi swasta mengontrol kebijakan negara melalui:
- Revolving door: Mantan pejabat Pertamina menjadi direktur di perusahaan Riza.
- Political lobbying: Pembiaran blending BBM melalui revisi Perpres No. 191/2014 tentang Harga Minyak.
- Legal engineering: Penyalahgunaan aturan kontrak kerja sama migas untuk mark-up harga.
Siapa yang Membiarkan Racun Ini Berkembang?
1. Mengapa teknologi blending canggih di Terminal
Merak tidak terdeteksi sistem pemantauan Pertamina? Apakah ada backdoor
policy yang sengaja membutakan sensor kualitas BBM?
2. Jika 144 bundel dokumen sudah disita, mengapa
proses hukum terhadap Riza Chalid masih lambat? Apakah dokumen itu berisi
nama-nama "tokoh besar" yang dilindungi?
3. Bagaimana mungkin PT Orbit Terminal
Merak—perusahaan pengoplos BBM—mendapat sertifikat ISO 9001? Apakah lembaga sertifikasi punya
keterlibatan?
4. Mengapa kasus ini baru diungkap di akhir periode
pemerintahan (2025)? Apakah
ada agenda politik untuk mengalihkan isu?
5. Jika blending BBM ilegal merusak lingkungan,
mengapa KLHK tidak menuntut pertanggungjawaban pidana lingkungan?
Skandal ini adalah
cermin demokrasi Indonesia yang dioplos: terlihat seperti sistem yang berjalan,
tapi esensinya telah dicampur dengan racun oligarki. Rp193,7 triliun bukan
sekadar angka—itu adalah bukti bahwa negara telah gagal menjadi penjaga amanat
konstitusi.
1. Jika anak dari Riza Chalid bebas seperti kasusnya pada Freeport dulu, akankah kita menerima bahwa hukum Indonesia adalah "pertunjukan
bayangan" untuk mengelabui publik?
2. Ketika BBM oplosan meracuni anak-anak kita melalui
polusi udara, siapakah yang akan meminta maaf atas generasi yang terancam
stunting dan penyakit pernapasan?
3. Mengapa masyarakat miskin harus menanggung inflasi
akibat korupsi BBM, sementara pelakunya menikmati hidup mewah di Kebayoran
Baru?
Minyak
bumi adalah warisan geologi 300 juta tahun. Tapi Mafia Migas dan kroni-kroninya
telah mengubahnya menjadi alat perusak peradaban dalam 5 tahun. Pilihan kita
sekarang: terus
mengeluh sambil menghirup BBM oplosan, atau menjadikan kemarahan ini sebagai
bahan bakar untuk merebut kembali kedaulatan energi.
Setiap kali kita mengisi
Pertamax, ingatlah: di balik nozzle SPBU, ada pertarungan antara masa depan
anak cucu kita dengan keserakahan segelintir orang. Korupsi Pertamina bukan akhir cerita—ia adalah
panggilan untuk membangun sistem yang memutus siklus mafia energi.
Jawabannya
ada di tangan kita: dalam setiap tuntutan transparansi, setiap penolakan
terhadap pembiaran, dan setiap upaya untuk menjadikan energi sebagai alat
pemerdekaan—bukan penjajahan !!!!